Sabtu, 20 April 2024

SELAMAT MENGUNJUNGI WEBSITE BADAN AKREDITASI NASIONAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN PENDIDIKAN NONFORMAL. PELAKSANAAN AKREDITASI SATUAN PAUD DAN PNF GRATIS/TIDAK BERBAYAR
close x

Mendidik Pekerja Migran Melalui PKBM

Mendidik Pekerja Migran Melalui PKBM_1576201364.jpeg

Saat menjalankan tugas sebagai Asesor Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal (BAN PAUD dan PNF) di PKBM KBRI Singapura (1-4 November 2019), penulis berusaha untuk mendalami persoalan pendidikan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Jumlah PMI di Singapura ada sekitar 150 ribu. Jumlah itu berdasarkan estimasi Atase Pendidikan Singapura, Enda Wulandari. “Umumnya mereka bekerja sebagai penata laksana rumah tangga. Atau kalau di Tanah Air disebut asisten rumah tangga. Sebagian lagi menjadi care giver (perawat orang tua dan bayi). Semua jenis pekerjaan itu hanya diperuntukkan bagi perempuan.” Begitu penjelasan pejabat asal Yogyakarta yang juga pernah menjadi sekretaris Atase Pendidikan Washington. 

Para pekerja migran perempuan itu umumnya sudah bertahun-tahun bekerja di Singapura. Saat mereka masuk ke Singapura, modal pendidikannya sebagian besar lulusan SD atau SMP. Seiring dengan kebijakan pemerintah Singapura yang melarang lulusan SD dan SMP bekerja di Negeri Singa, maka pekerja migran dituntut untuk melanjutkan studi. Karena itu, mereka yang sudah lama bekerja di Singapura harus mengambil Program Kesetaraan Paket B (SMP) atau Paket C (SMA). Menurut Endah Wulandari, “Melanjutkan studi merupakan keniscayaan jika mereka tidak ingin pulang ke kampung halaman. Apalagi sekarang pemerintah Singapura mensyaratkan pekerja migran untuk penata laksana rumah tangga minimal harus berpendidikan SMA.”

Dengan ketentuan itu, maka tidak ada pilihan lain. Para pekerja migran harus mengambil Paket B atau Paket C. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan lanjutan pekerja migran itulah, maka Kedutaan Besar mendirikan Sekolah Indonesia Sinagpura (SIS). Sebagai lembaga formal SIS melayani pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak (TK), SD, SMP, SMA, hingga Universitas Terbuka (UT). Di lembaga pendidikan formal inilah anak-anak Indonesia belajar. Kepala sekolah dan guru SIS selalu direkrut secara khusus oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka harus menjalani sejumlah tahapan tes yang sangat kompetitif. Mereka yang lolos tes ditugaskan di SIS selama tiga tahun. Mereka adalah guru-guru dari sekolah negeri dan swasta. Selama bertugas, mereka tinggal di kondominium yang disiapkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Harus diakui bahwa tidak semua warga Indonesia bisa belajar di SIS. Ada banyak alasan yang dikemukakan. Salah satunya, model pendidikan SIS tidak sesuai dengan kelonggaran waktu yang dimiliki pekerja migran. Dengan model pendidikan formal yang sangat ketat dan kewajiban masuk lima hari dalam seminggu, maka hal itu jelas tidak sesuai dengan kondisi pekerja migran. Hal itu karena mereka yang bekerja sebagai asisten rumah tangga atau care giver hanya memiliki waktu libur pada hari Minggu. Untuk itulah Atase Pendidikan Singapura membentuk Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). PKBM KBRI Singapura melayani Program Kesetaraan Paket B dan Paket C. Waktu belajar PKBM juga dilaksanakan secara fleksibel. Menyesuaikan dengan waktu libur pekerja migran. Dengan kondisi yang ada, akhirnya disepakati bahwa waktu pembelajaran adalah hari Minggu. Itupun tidak setiap hari Minggu, melainkan hanya pada minggu pertama dan ketiga.

Dalam praktiknya, pembelajaran PKBM KBRI Singapura hanya dilaksanakan dua hari dalam satu bulan untuk pertemuan di kelas. Sebagian pembelajaran dilaksanakan dengan model daring (dalam jaringan). Pembelajaran secara online ini dilakukan untuk mengurangi jadwal tatap muka agar pekerja migran tetap bisa belajar dan bekerja sekaligus. Untuk kebutuhan sarana prasarana pembelajaran tidak menjadi masalah. PKBM dapat leluasa menempati gedung SIS di daerah Siglap Road Singapore. Apalagi pembelajaran PKBM dilaksanakan pada hari Minggu, ketika kelas-kelas SIS tidak banyak digunakan. Pada setiap Minggu kompleks SIS memang masih ramai kegiatan ekstra. Tetapi anak-anak SIS hanya memanfaatkan lapangan dan ruang serba guna. Sementara untuk kelas, sebagian hanya dipakai remidial. Sisanya, dapat dimanfaatkan pembelajaran kelas PKBM.

Pengelola PKBM yang mendapat Surat Keputusan dari KBRI dapat memanfaatkan fasilitas SIS, baik untuk pembelajaran atau kegiatan ekstra. Jumlah siswa yang belajar di PKBM KBRI Singapura ternyata cukup banyak. Pada tahun ajaran 2019/2020, siswa program Paket B berjumlah 38 anak yang dibagi menjadi dua kelas. Sementara untuk program Paket C berjumlah 104 anak, yang dibagi dalam tiga kelas besar. Karena itu, dapat dibayangkan betapa ramai kompleks SIS pada hari Minggu. Fasilitas kelas dan sarana prasarana di SIS juga tergolong istimewa. Maka, tidak mengherankan jika SIS dinobatkan sebagai yang terbaik untuk kategori Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN). Dengan fasilitas yang memadai, pembejaran PKBM juga sangat nyaman. Apalagi siswa PKBM memperoleh pendampingan dari guru-guru terbaik hasil rekrutmen Kemendikbud.

Selain belajar di PKBM, sebagian besar siswa yang umumnya sudah berumur itu juga mengambil program kursus. Melalui Atase Ketenagakerjaan, KBRI Singapura juga mennyelenggarakan program Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kerja (P3K). P3K melayani kursus sesuai kebutuhan siswa. Diantara program yang ditawarkan adalah komputer, kecantikan rambut dan kulit, menjahit, bahasa Inggris, bahasa Mandarin, dan care giver. Pembelajaran P3K juga dilaksanakan pada Minggu di kompleks SIS. Tidak hanya di P3K, sebagian siswa PKBM juga mengambil kursus di sejumlah lembaga. Mereka mengambil bidang kursus yang tidak ada di P3K. Salah satu program yang diminati pekerja migran adalah Financial Management (Manajemen Keuangan). Bidang ini sangat relevan dengan kebutuhan pekerja migrant yang harus mampu mengelola penghasilan.

Melihat begitu banyak problem dan kebutuhan yang dihadapi pekerja migran itulah, maka pemerintah penting menaruh perhatian pada persoalan tersebut. Terutama dalam persoalan pendidikan, keterampilan sesuai jenis pekerjaan, dan pembinaan keagamaan pekerja migran. “Selain untuk meningkatkan strata pendidikan, pembelajaran PKBM KBRI Singapura juga menyesuaikan kebutuhan pekerja migran. Yang tidak kalah penting adalah memberikan edukasi tentang hak-hak dan kewajiban pekerja migran. Persoalan ini penting karena ada banyak kasus perselisihan antara majikan dan pekerja migran Indonesia,” kata Enda Wulandari. Jika ditelisik lebih jauh, penyebab utama perselisihan itu adalah karena seringkali pekerja migran tidak cermat dalam memahami dokumen perjanjian pekerjaan. Dampaknya, mereka selalu dalam posisi lemah tatkala berhadapan dengan majikan. Pada konteks itulah pendidikan untuk pekerja migran penting menjadi perhatian.*

 

Oleh:
Dr. Biyanto. M.Ag.
Dosen UIN Sunan Ampel
Anggota BAN PAUD dan PNF
eh: Dr. Biyanto, M. Ag. Dosen UIN Sunan Ampel Anggota BAN PAUD dan PNF